Istilah Status Quo dalam konteks wacana politik Indonesia mencapai rating tertingginya pada pengujung keruntuhan rezim Orde Baru. Selama tiga dasawarsa lebih Orde Baru mempertahankan Status Quo. Tetapi akhirnya, rezim yang dikomandoi oleh seorang jenderal berbintang lima itu rontok oleh sebuah gerakan reformasi yang dimotori oleh para mahasiswa. Gerakan reformasi adalah antitesis dari Status Quo, ini jika kita lihat dari cara pandang dialektis.
Dialektika bisa membentuk garis lurus (linear), bisa berputar (siklis). Misalnya begini: A adalah tesis, B muncul sebagai anti-tesis, yaitu perlawanan atau kritik terhadap A. Setelah A dan B berdialog, maka menghasilkan C sebagai sebuah sintesis. C sebagai sintesis, pada akhirnya menjadi sebuah tesis baru. Sebagai sebuah tesis, C mendapatkan kritisi dari D. Maka, D adalah anti-tesis dari C. Setelah C dan D berdialog, hasilnya muncullah E sebagai sintesis.... E kemudian menjadi tesis.... dst. Begitu terus polanya. Jika keadaan ini membentuk garis lurus dan tidak pernah kembali ke A, maka ini kita sebut dialektika linear. Tetapi sebaliknya, jika pada titik tertentu kembali ke A, ini kita sebut dialektika siklis (berputar). Coba kita kembali ke konteks pilpres Indonesia 2009 dengan menggunakan pisau bedah ini.
Pertanyaannya, apakah Pilpres 2009 ini adalah Status Quo? Pertanyaan ini memang tidak jelas (clear and distinct). Status Quo yang mana? Status Quo adalah suatu keadaan yang tidak berubah. Ini bisa terkait pada sistem, pada person, dan pada output dari sebuah pemerintahan. Jika ada yang berteriak, "Pilpres 2009 adalah status qou...!!" Pertama-tama istilah itu harus dijelaskan merujuk pada pemerintahan yang mana? Orde Baru, pemerintahan Megawati, atau pemerintahan SBY? "Ya semua...!!!" Betul..!!! Semua kandidat dalam pilpres kita kali ini memang representasi dari Status Quo.
Sekarang muncullah istilah "Qou Vado?". Quo Vado artinya, "Saya Mau Kemana?" Cailah... Ada yang binggung ya..? Bagi orang yang berpandangan progresif, inginnya akan muncul suatu perubahan dari hasil pilpres kali ini. Tetapi melihat proses dialektika dari ketiga pasangan kandidat, kok nggak ada ya yang mengindikasikan suatu progresitas, suatu perubahan. Ya, betul, jika kita merujuk pada personnya. Tapi, kalau kita lihat dari program-program mereka, kan ada rencana terobosan-terobosan yang sangan inovatif. Oh, iya-ya... Berarti, dari segi sistem yang ditawarkan, ada juga yang nggak Status Quo ya...?
Sekali-kali, secara pribadi, saya ingin bangsa ini tidak tertipu oleh propaganda kampanye. Pikir secara jernih. Teliti sebelum membeli. Lihat track record masing-masing kandidat, sambil tutup telinga. "Quo Vado?"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar